Beberapa orang bertanya, “Jadi anakmu nggak sekolah ya?” Aku menganggukkan kepala lalu menjelaskan pelan-pelan, “Iya, tapi bukan karena kami anti sekolah. Justru karena kami senang belajar makanya kami memilih unschooling.” Meski kadang mereka masih memandang kami kasihan, seolah kami tak mampu membayar uang sekolah untuk anak kami.
Buatku, unschooling bukan tentang menghindari bangku sekolah. Bukan pula sekadar “belajar di rumah”. Lebih dalam dari itu, ini tentang memercayai anak. Tentang memberi ruang untuk rasa ingin tahunya tumbuh, tanpa terburu-buru.
Belajar itu tak terbatas hanya di meja belajar selama berjam-jam. Anakku belajar bukan karena ada jadwal. Tapi karena hidup selalu menawarkan hal baru untuk dipelajari. Dia belajar menghitung saat kami memasak sayur sop di dapur. Dia belajar tentang waktu dan cuaca dari jalan pagi. Dia belajar bahasa saat kami membaca buku keras-keras bersama di kamar ketika malam tiba.
Dan seringnya, dia yang justru memimpin proses itu. Aku hanya menemani.
Jika diingat kembali rasanya aku tidak mengajarkan apa pun, tidak ada buku panduan yang menjadi acuan kami untuk melakukan unschooling. Salah satu hal yang paling berubah sejak kami memulai unschooling adalah kami berdua lebih banyak waktu menjadi orangtua yang hadir sepenuhnya. Peranku bukan sebagai guru, tapi akulah teman belajar, bermain mereka dan penjaga rasa ingin tahu mereka. Seringnya malah aku mendapatkan hal-hal baru dari Aika ( si sulung yang saat ini berusia 7 th). Kami tidak punya kurikulum resmi. Tapi kami punya buku cerita, kebun kecil, dapur yang berantakan, dan banyak percakapan yang dimulai dari pertanyaan-pertanyaan polos. Buku, permainan, percakapan dan praktik apapun bisa menjadi sumber belajar kami.
Unschooling juga membuatku belajar tentang ritme keluarga. Kami nggak bangun pagi dengan buru-buru, masih menikmati terbitnya mentari, dan ayam yang berkokok. Nggak ada PR yang harus dikumpulkan, tapi ada banyak momen yang harus dihidupi. Kadang belajar artinya duduk diam memandangi semut atau bahkan berdebat soal kapan datangnya pelangi. Dan meski tak terlihat seperti “belajar” dalam definisi umum, aku percaya anak-anakku sedang menyusun dunia versinya sendiri. Juga mereka tak kehilangan proses sosialisasi seperti yang paling sering dikhawatirkan banyak orang. Saat berkunjung rutin ke perpustakaan, Aika yang berinisiatif mengajak anak-anak di perpustakaan untuk bermain, baik itu perempuan atau laki-laki, bahkan dia nggak ragu mengajak kakak-kakak yang lebih besar dari dia. Keluwesannya bermain dan mengobrol, membuatku yakin tak ada masalah soal sosialisasinya.
Karena belajar itu seumur hidup. Kami memilih unschooling bukan karena yakin ini metode terbaik untuk semua orang. Tapi karena ini jalan yang paling selaras dengan nilai-nilai keluarga kami. Bahwa belajar itu bukan perlombaan. Kami percaya setiap anak punya cara unik untuk menyerap dan berkontribusi pada dunia. Sebagai orangtua pun masih terus belajar, terutama tentang bagaimana mencintai anak-anak tanpa syarat, tanpa membanding-bandingkan mereka dengan siapa pun, dan mengapresiasi proses belajar mereka.
Kalau ada yang bertanya lagi,
“Kenapa nggak sekolah?”
Mungkin sekarang aku akan menjawab, “Karena kami ingin belajar hidup, bukan sekadar mengejar nilai di rapor.”
.png)

Tidak ada komentar :
Posting Komentar