Sabtu, 15 November 2025

Maria Montessori: Perempuan yang Memilih Jalan yang Tak Mudah

Maria Montessori dikenal dunia sebagai pelopor pendidikan anak yang menempatkan kemandirian, rasa ingin tahu, dan penghargaan terhadap potensi setiap anak sebagai dasar pembelajaran. Namun, di balik gagasannya yang revolusioner, ada kisah pribadi yang tak kalah menggetarkan hati, kisah tentang cinta, pengorbanan, dan keberanian mengambil keputusan di luar arus zaman.

Aku tergelitik untuk mengulik lebih lanjut tentang kisah Montessori setelah membaca buku karya Lesley Britton: Montessori Learn and Play. Sebenarnya tak secara langsung membahas soal kehidupan Montessori, namun menyebutkan sedikit tentang, Mario Montesano Montessori anak Maria Montessori. Dari situ, aku mulai menyadari bahwa metode yang tampak lembut dan penuh kebebasan ini ternyata lahir dari perjalanan hidup yang keras dan penuh luka, perjalanan seorang perempuan yang memilih setia pada panggilannya, meski harus membayar harga yang mahal.

Pada mulanya, Montessori pernah menjalin hubungan dengan rekan kerjanya, seorang dokter bernama Giuseppe Montesano. Dari hubungan itu lahirlah seorang anak laki-laki bernama Mario. Namun, keduanya tidak menikah. Bukan karena tidak saling mencintai, melainkan karena keadaan sosial pada masa itu tidak memberi ruang bagi perempuan untuk memiliki semuanya, cinta, karier, dan kebebasan berpikir.

Pada masa itu, perempuan yang menikah diharapkan berhenti bekerja dan fokus mengurus rumah tangga. Montessori tahu, jika ia menikah, maka seluruh pengabdian dan perjuangannya di dunia pendidikan akan berakhir. Maka ia memilih jalan yang sulit: tetap melanjutkan pekerjaannya, meski harus menanggung kehilangan sebagai seorang ibu. Keluarga Montesano menentang hubungan mereka karena perbedaan status sosial, dan mereka menuntut agar kelahiran Mario dirahasiakan. Mario akhirnya dibesarkan oleh keluarga Montessori di desa, sementara Montessori meneruskan langkahnya memperjuangkan hak anak-anak untuk belajar dengan kebebasan dan kasih sayang.

Bayangkan betapa berat keputusan itu. Di satu sisi, ada kerinduan menjadi ibu yang hadir penuh untuk anaknya. Di sisi lain, ada panggilan jiwa untuk memberi makna yang lebih besar bagi anak-anak di seluruh dunia. Dan Montessori, dengan segala luka dan keteguhannya, memilih yang kedua. Ia menjadikan pengalaman hidupnya: kehilangan, tekanan sosial, dan perjuangan, sebagai bahan bakar untuk memahami anak-anak dengan empati yang mendalam.

Kisah ini mengajakku berpikir: kalau kamu jadi Montessori, apa yang akan kamu lakukan?

Apakah kamu akan mengambil risiko berhenti dari hal yang kamu cintai demi menikah dengan Montesano, meski ditentang karena status sosial?

Karena jika Montessori menikah saat itu, kemungkinan besar semuanya akan berakhir. Ia akan hidup di bawah bayang-bayang keluarga Montesano yang konservatif, mungkin dipandang rendah karena hamil di luar nikah, dan kehilangan kesempatan untuk berkontribusi pada dunia pendidikan. Dunia mungkin tak akan pernah mengenal metode Montessori, dan Ki Hadjar Dewantara tak akan terinspirasi untuk mengembangkan konsep Taman Siswa di Indonesia.

Atau, kamu akan memilih jalan yang sama seperti Montessori? Merelakan bagian dari hidupmu, menyerahkan anakmu untuk diasuh orang lain, dan melanjutkan perjalanan dengan keyakinan bahwa pengabdianmu akan memberi arti yang lebih luas bagi dunia?

Keputusan Montessori bukan hanya tentang karier atau cinta, tetapi tentang keberanian seorang perempuan untuk tetap setia pada panggilan hidupnya, bahkan ketika dunia tidak berpihak.

Kalau kamu ingin mengenal sisi personalnya lebih dalam, ada film berjudul Una Vita per i Bambini (A Life for Children) yang mengisahkan perjalanan hidup Maria Montessori dengan indah dan menyentuh. Nyalakan subtitle-nya saat menonton, karena film ini berbahasa Italia, dan siapkan hati untuk tersentuh oleh sosok perempuan yang menjadikan luka pribadinya sebagai sumber cinta bagi jutaan anak di seluruh dunia.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Back to Top