Selasa, 18 November 2025

Masak Sendiri Tapi Tetap Sakit? Mungkin Masalahnya Ada di Dapur Kita Sendiri

Sering kali ketika berbincang dengan orang-orang yang tengah berjuang melawan berbagai penyakit dari: kolesterol, diabetes, asam urat, tekanan darah tinggi, hingga kanker, aku mendengar kalimat yang hampir sama diucapkan dengan nada heran:

“Saya tuh makannya nggak aneh-aneh, kok. Masakan rumah, dimasak sendiri.”

Dulu aku pun berpikir, mungkin sebagian besar penyakit memang diturunkan secara genetik. Sampai suatu hari, aku mulai membaca dengan teliti komposisi bumbu-bumbu instan yang selama ini kita anggap “bumbu dapur biasa”. Dari situlah mata ini mulai terbuka. Ternyata bukan hanya soal “micin”. Bahkan kecap, saus, bumbu ungkep, kaldu instan, dan aneka pelengkap dapur lainnya mengandung bahan tambahan yang perlahan-lahan melemahkan tubuh.

Aku menulis ini karena baru saja membaca buku anak berjudul Dally Tak Rakus Lagi, terjemahan dari Korea Selatan yang diterbitkan oleh Penerbit Funtastic. Ceritanya sederhana, tentang goblin yang awal mulanya mengonsumsi makanan sehat, kemudian mendapat hadiah makanan kemasan. Sejak saat itu dia gemar makan makanan kemasan secara berlebihan hingga akhirnya sakit perut, berjerawat dan belajar memahami tubuhnya sendiri. Lucu, tapi mengena. Buku ini membuatku berpikir, kalau anak-anak saja bisa diajak belajar makan dengan sadar melalui cerita, kenapa kita, orang dewasa, justru sering lupa mengenali apa yang kita masukkan ke tubuh setiap hari?

Masakan Rumah, Tapi Rasa Pabrik

Kita sering merasa aman karena semua dimasak di rumah. Tapi mari jujur, seberapa banyak dari yang kita sebut “masakan rumah” sebenarnya masih bergantung pada produk pabrikan? Bumbu instan untuk ayam goreng, saus tiram, kecap manis, penyedap rasa, margarin, sambal botolan, semua tampak sepele, tapi di baliknya ada sederet bahan kimia pengawet, pewarna, dan pemanis buatan.

Manusia modern sibuk. Kita bekerja, mengurus anak, mengejar waktu. Akhirnya, kita kehilangan waktu untuk menyiapkan bumbu dari bahan alami yang sebenarnya sederhana: bawang, cabai, lengkuas, jahe, serai, dan daun salam. Kita kehilangan kepekaan terhadap cita rasa asli, karena lidah sudah terbiasa dengan “rasa cepat saji” yang kuat, gurih, dan manis berlebih.

Padahal tubuh kita, sel-sel kita, diciptakan untuk mengenali yang alami. Dan setiap kali kita menggantinya dengan yang instan, tubuh pelan-pelan kehilangan kemampuan alaminya untuk bertahan.

Bekal dari Rumah, Tapi Penuh Kemasan

Aku juga sering lihat konten yang sliweran di YouTube: anak-anak usia belia yang mulai terkena diabetes atau gangguan ginjal. Banyak yang berkata, “Padahal saya selalu bawakan bekal dari rumah”. Tapi ketika kita lihat isi bekalnya, ternyata yang ada di dalam wadah kecil itu adalah biskuit marie, wafer, gabin, keripik, dan berbagai snack kemasan lain, hanya saja sudah dipindah ke kotak bekal yang lucu. Kita mengira itu “bekal rumah”, padahal tetap saja produk olahan pabrik dengan tambahan gula, garam, dan lemak yang tinggi. Kita tak sadar, di balik kepraktisan itu, anak-anak sedang belajar mengenal rasa buatan, dan perlahan kehilangan rasa alami dari buah, sayur, dan masakan segar.

Atas Nama Kepraktisan

Atas nama kepraktisan, kita beli teh botolan, kopi kemasan, minuman less sugar, atau minuman berlabel “alami” yang ternyata mengandung belasan gram gula per botol. Kita tahu, tapi sering berpikir, “Ah, cuma sesekali”. Padahal “sesekali” yang berulang bisa jadi kebiasaan, dan kebiasaan itulah yang perlahan membentuk tubuh, juga masa depan kesehatan kita.

Kembali ke Dapur yang Sungguh Rumah

Aku menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Aku pun pernah ada di posisi yang sama, tak tahu ilmunya, memilih cepat dan praktis karena lelah. Tapi semakin banyak aku membaca label kemasan, semakin aku sadar bahwa “memasak sendiri” tidak selalu berarti “makan sehat”.

Mungkin sudah saatnya kita benar-benar kembali ke dapur, mengenal lagi aroma rempah yang sesungguhnya, dan memberi tubuh kita makanan yang benar-benar hidup. Tidak harus langsung sempurna, bisa dimulai dengan hal kecil: mengurangi kecap, membuat kaldu sendiri, atau menyeduh teh bunga telang alih-alih teh botolan.

Karena kesehatan ternyata bukan soal apa yang terlihat di piring, tapi apa yang tersembunyi di balik daftar komposisi kecil yang sering kita abaikan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Back to Top