Minggu, 02 November 2025

Review Buku: Aku Mendengarmu

Ada satu momen yang mungkin pernah dialami banyak ibu: anak bercerita sambil menangis, tapi mulut kita lebih cepat dari telinga. Kita sibuk menjelaskan. Memberi nasihat. Mencari solusi. Kadang malah menyalahkan. Padahal, sebenarnya dia cuma ingin didengar. Itu juga yang bikin aku berhenti di buku Aku Mendengarmu karya Michael S. Sorensen. Bukan buku tebal, tapi dampaknya luar biasa. Ia bicara tentang satu hal yang tidak diperhatikan banyak orang: kekuatan validasi.

Bahwa rasa dipahami itu lebih menyembuhkan daripada 100 kalimat motivasi. Dan tiba-tiba aku mengingat, sudah berapa kali aku memotong cerita anakku hanya karena aku merasa “tahu jawabannya”? Berapa kali aku mengoreksi, padahal dia belum selesai bicara? Berapa kali aku ingin terlihat “benar”, tapi malah gagal menjadi tempat yang aman?

Lalu buku ini menamparku dengan lembut: “Kita tidak selalu harus punya solusi. Kadang kita hanya perlu hadir dan berkata: Aku ngerti kok perasaanmu.” Sesederhana itu. Tapi kenapa rasanya sulit? Validasi itu bukan memanjakan. Bukan membenarkan hal yang salah.

Validasi itu, memberi ruang untuk merasakan. Seperti saat anak jatuh dan menangis, bukan “Sudah, nggak sakit kok.”

Tapi...

“Sakit ya? Iya, jatuh tuh memang bikin kaget dan perih.”

Lihat bedanya? Yang satu menolak emosi. Yang satu menerima. Dan saat emosi diterima, tubuh (dan hati) pelan-pelan tenang sendiri. Ternyata kita semua butuh itu. Bukan cuma anak-anak. Orang dewasa, pasangan, sahabat, bahkan diri kita sendiri.

Kita ingin ada yang berkata:

“Aku mau dengerin ceritamu.”

“Aku berusaha memahami mengapa kamu sedih.”

“Emang nyebelin sih kalo berada di posisimu.”

Karena didengar itu seperti dipegang tangannya, tanpa disentuh. Yang paling mengejutkan dari buku ini:

Validasi bukan cuma bikin hubungan jadi hangat, tapi juga bikin komunikasi lebih efektif. Orang yang merasa dimengerti, akan lebih terbuka. Orang yang diterima emosinya, lebih siap diajak bicara logis. Orang yang merasa aman, lebih cepat pulih. Kadang, mendengar itu lebih menyelesaikan masalah daripada menasihati. Lalu aku belajar pelan-pelan. Saat anak bercerita, aku berhenti merespons cepat. Aku coba menyimak dulu.

Kalimatnya sesederhana:

“Oh gitu… kamu kesal ya?”

“Iya, pasti rasanya nggak enak.”

Dan ajaibnya dia lebih cepat tenang. Bahkan kadang, dia sendiri yang mencari solusinya. Seolah-olah kita cuma perlu membuka pintu rasa dulu, baru pikiran bisa ikut berjalan. Buku ini mengingatkanku pada sesuatu yang penting: Kadang, cinta itu bukan tentang banyak bicara, tapi banyak mendengar. Kalau kamu ibu, guru, pasangan, relawan, atau “just human”. Aku rasa buku ini wajib dibaca. Karena ternyata, yang sering hilang dalam hubungan bukan kasih sayang, tetapi kemampuan memahami rasa orang lain.

Setelah membaca buku ini, aku belajar memahami bahwa ternyata ada lho bedanya validasi dengan positif, negatif, dan pasif. Cara kita validasi akan menentukan reaksi dari kawan bicara, apakah dia akan antusias melanjutkan cerita atau berhenti bercerita. Yang paling membuatku ngeri dari buku ini adalah, ketika membahas penelitian tentang cara validasi pasangan yang baru menikah, akan menentukan sebagian besar perjalanan pernikahan mereka di 6 tahun pertama.

Ada contoh kasus validasi yang aku suka banget, tentang istri yang kesal dengan saudaranya karena “banyak ngatur liburan bersama”. Contoh pertama, si suami melakukan validasi dengan cara menolak:

Amy : "Huh, Emily benar-benar menyebalkan!"

David : "Ada apa."

Amy : "Kau tahu bukan mengenai rencana berlibur yang aku dan semua kakak perempuanku rencanakan? Emily terus-terusan mengubah rencana dan tidak mau mendengarkan bahkan sama sekali tidak peduli pada apa yang mau sama-sama kami la-kukan."

David : "Mungkin kau harus memberitahunya apa yang mau kau lakukan?"

Amy : "Tentu saja sudah. Kami semua sudah memberi-tahukan apa yang kami inginkan! Tapi dia selalu ada alasan untuk mengubahnya jadi seperti yang dia mau. Aku benar-benar muak!"

David : "Kau harus memberitahunya bahwa sepertinya dia tak mengindahkanmu."

Amy : "Aku sudah mencobanya. Dia tetap saja begitu. Aku merasa seolah akulah yang gila karena saudara perempuanku yang lain hanya diam dan membiarkannya mengambil alih. Aku tidak mau menghabiskan uang dan mengambil cuti selama seminggu hanya untuk mengikuti keinginan dia sepanjang hari!"

David : "Ya sudah, kalau kau tak ingin pergi, tak usah pergi."

Amy : "Tentu saja aku mau pergi! Aku hanya ingin pergi dan benar-benar bersenang-senang!"

David : "Kalau begitu bicarakanlah kepada kakakmu yang lain. Aku yakin kalian bisa menemukan jalan keluar. Atau aku yang akan berbicara kepadanya!"

Amy : "Tidak, aku bisa mengatasinya. Aku hanya frustrasi."

David : "Bagaimana jika masing-masing dari kalian merencanakan satu hari?"

Amy : "Tak semudah itu. Tempat-tempat yang ingin kami kunjungi berjauhan satu sama lain."

David : "Kalau begitu, bagaimana jika kalian membeli paket tur grup?"

Amy : "Tidak, kami ingin melakukannya sendiri."

David (pada titik ini dia tidak vakin apa yang sebenarnya Amy harapkan dari dirinya): "Baiklah, kalau begitu, mungkin kau harus segera mencari solusinya. Liburan ini sudah tinggal beberapa minggu"

Amy (semakin frustrasi dan bersiap menyudahi pembicaraan): "Ya. Tak masalah. Aku akan menyelesaikannya."

Familier tidak dengan percakapan antara David dan Amy? Aku juga pernah di posisi David berusaha semaksimal mungkin memberi 1001 solusi, juga pernah di posisi Amy yang mengeluhkan banyak hal dan ternyata hanya butuh didengar.

Mungkin beginilah percakapan yang akan terjadi jika David memvalidasi Amy, bukan memberi saran pada Amy.

Amy : "Huh, Emily benar-benar menyebalkan!"

David : "Ada apa?"

Amy : "Kau tahu bukan mengenai rencana berlibur yang aku dan semua kakak perempuanku rencanakan? Emily terus-terusan mengubah rencana dan tidak mau mendengarkan bahkan sama sekali tidak peduli pada apa yang mau sama-sama kami lakukan."

David : "Benarkah? Ada apa dengannya?"

Amy : "Entahlah! Dia benar-benar membuatku gila. Rencana ini padahal tinggal beberapa minggu lagi dan aku takut tidak terkejar untuk melakukan reservasi apa pun."

David : "Ah, benar-benar menyebalkan. Apa yang akan kau lakukan?"

Amy : "Aku tidak tahu. Dia terus saja begitu. Aku merasa seolah akulah yang gila karena saudara perempuanku yang lain hanya diam dan membiarkannya mengambil alih. Aku tidak mau menghabiskan uang dan mengambil cuti selama seminggu hanya untuk mengikuti keinginan dia sepanjang hari!"

David : "Ya, memang kau menjadwalkan liburan ini berempat. Ini adalah liburanmu sebagaimana ini juga liburannya.

Amy : "Ya, benar. Aku akan mencari cara. Aku hanya frustrasi."

David : "Ya, pasti memang membuat frustrasi. Apalagi kalau kau benar-benar pergi dengannya dan rencananya."

Amy : "Aku akan melakukannya! Aku tahu dia memang begitu. Bahkan sejak kecil."

David : "Aku pasti tak bisa tahan kalau begitu."

Amy : "Memang."

David : "Aku turut prihatin."

Amy : "Tidak masalah. Aku akan berbicara lagi kepada-nya. Jika dia benar-benar tidak mau mengalah, entahlah. Aku mungkin akan pergi dengan rencanaku sendiri ketika di sana."

David : "Bukan ide yang buruk juga. Semoga dia mau sedikit melunak."

Amy : "Semoga...."

[Terdiam sejenak]

Amy : "Omong-omong, terima kasih telah mendengarkanku. Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"

Terlihat ya perbedaan cara merespons antara contoh pertama dan kedua. Aku rasa di contoh pertama, Amy yang awalnya kesal dengan saudaranya, malah berbalik kesal pada David. Hanya karena David kurang tepat merespons kebutuhan validasi Amy.

Buku ini ringan untuk dibaca selama seminggu. Banyak tips, contoh lain yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, dan kata atau kalimat apa saja yang perlu dihindari. Buku ini mengajak kita untuk melakukan validasi yang diharapkan, ketika pasangan kita mendapat kabar baik, teman kita sedang bersedih atau frustrasi, anak yang sedang ingin menunjukkan keterampilannya, atau seseorang yang baru saja ditinggal orang terkasih. Hampir semua validasi yang pernah aku dan orang sekitarku lakukan adalah menolak atau meredam emosi. Percayalah itu makin memperburuk keadaan.

Mungkin, dunia ini akan sedikit lebih lembut kalau kita mulai dari satu kalimat sederhana: “Aku mendengarmu.” 

Kamu pernah merasa tidak didengar? Atau justru sadar kamu sering lupa mendengarkan?

Boleh cerita di kolom komentar. Aku siap dengerin.

1 komentar :

  1. Betul banget sih mbak terkadang sebagai seorang ibu karena merasa udah tahu maka seringkali malah jadinya ceramah ke anak padahal sebetulnya anak bercerita hanya mau didengar saja. Masih belajar untuk mulai mengerem dan memberi komentar aku mbak. Juga pas suami cerita kadang aku malah ngejudge dan jadinya malah ga enak pdhl suami cuma mau didengarkan saja. Aku jadi kepengen baca buku itu mbak. Makasih sharingnya ya mbak Elsa

    BalasHapus

Back to Top